Aktor-Aktor Dalam Penegakan Hukum Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang PPHI

Jika anda sedang menghadapi perkara perselisihan hubungan industrial sepatutnya perlu diketahui para pihak dan aktor hukumnya. Sehubungan dengan itu, menurut Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (seterusnya ditulis UU No. 2 Tahun 2004) merumuskan perselisihan hubungan industrial sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Selanjutnya, penjelasan umum UU No. 2 Tahun 2004 bahwa lingkup pengaturan terkait pihak-pihak yang berperkara adalah “pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.”

Baca juga disini:

Jika dicermati bahwa seolah-olah penjelasan umum UU No. 2 tahun 2004 tidak menyebut aktor-aktor lain sedemikian rupa. Tulisan ini hendak mengingat kembali semua pemangku kepentingan dalam penegakan hukum perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 yang disebut secara tegas yakni:

  1. Pengusaha/perusahaan.
  2. Pekerja/buruh.
  3. Serikat pekerja/serikat buruh.
  4. Mediator hubungan industrial.
  5. Konsiliator hubungan industrial.
  6. Arbiter hubungan industrial.
  7. Hakim

Definisi hukum aktor-aktor yang tersebut diatas dapat diurai sebagai berikut. Pertama, pengusaha. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan:

“a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.”

Selanjutnya, perusahan menurut ketentuan pasal 1 angka 7 UU No. 2 Tahun 2004 yaitu

Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; dan Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Kedua, tentang pekerja/buruh. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan. Ketiga, mengenai serikat pekerja/serikat buruh. Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 2 Tahun 2004 bahwa serikat pekerja/serikat buruh adalah “organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Keempat, perihal mediator hubungan industrial yang secara yuridis didefinisikan menurut Pasal 1 angka 12 UU No. 2 Tahun 2004 sebagai “pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat  buruh hanya dalam satu perusahaan.”

Kelima, mengenai konsiliator hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 14 terkonfirmasi bahwa “seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.”

Keenam, arbiter hubungan industrial menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 2 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.”

Ketujuh, hakim. Berturut-turut menurut ketentuan pasal 1 angka 18, angka 19 dan angka 20 UU No. 2 tahun 2004 bahwa hakim terbagi tiga (3) hal yakni hakim, hakim ad hoc dan hakim kasasi. Adapun definisi hakim menurut ketentuan pasal 1 angka 18 UU a quo adalah “Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial.” Menurut ketentuan Pasal 1 angka 19 UU a quo hakim ad hoc ialah “Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.” Ketentuan Pasal 1 angka 20 UU a quo mengatur hakim kasasi adalah “Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.”

Baca juga disini

Menurut ketentuan-ketentuan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat tujuh (7) aktor dalam UU No. 2 Tahun 2004 terdiri dari pihak prinsipal yakni pekerja/buruh, pengusaha/perusahaan atau serikat pekerja/serikat buruh dan pihak penegak hukum yaitu mediator hubungan industrial, konsiliator hubungan industrial, arbiter hubungan industrial dan hakim.

Kendatipun demikian, Undang-Undang R.I. Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU No. 18 Tahun 2003) mengakui penegak hukum lain yakni Advokat. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan, berstatus sebagai penegak hukum. Sampai sini, pihak prinsipal dapat memberikan kuasa kepada Advokat terkait pemberian jasa hukum antara lain guna mewakili, mendampingi dan membela kepentingan hukumnya.

Penulis: Markus Lettang, S.H.

Editor: Chessa Ario Jani Purnomo, S.H., M.H., C.T.L.