Dalam ilmu hukum makna subjek hukum (subject van een recht) berarti orang yang berhak, orang pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum, dan orang sebagai pokok dalam suatu hubungan hukum. Sedangkan, subjek hukum pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak (B. N. Marbun, 2006: 295).

Penulis melihat arti kata subjek pajak di atas dipahami secara sederhana. Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Pengasilan (UU PPh) dapatlah dibagi subjek hukum pajak penghasilan sebagai berikut:

  1. Orang Pribadi dan Warisan

Makna kata “orang pribadi” mesti dibayangkan sebagai manusia-biologis yang dapat makan, minum, dan bernafas. Memang betul, ilmu hukum membagi secara biner apa yang dimaksud orang lainnya, yakni badan (secara sederhana perusahaan). Biar pun begitu, hukum pajak penghasilan memiliki logikanya sendiri. Penjelasan Pasal a quo makna orang pribadi didasarkan pada “tempat tinggal.”

Sementara subjek hukum warisan, bukan orang sebagaimana uraian penulis di atas. Subjek hukum pajak warisan dimaksud sebagai subjek hukum pajak pengganti orang. Rasionya, pembentuk undang-undang menghendaki bahwa pajak penghasilan tetap dapat dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan, menggantikan  mereka yang berhak yaitu si ahli waris.

  1. Badan

Arti “badan” disini bukan dalam maknanya yang biologis. Ilmu hukum menjelaskan makna badan secara terbatas seperti badan usaha berbadan hukum dan badan usaha non badan hukum. Pertama, badan usaha berbadan hukum dimengerti dalam beberapa literatur hukum sebagai Perseroan Terbatas, Koperasi  dan Yayasan.

Kedua, badan usaha non badan hukum seperti  CV, Firma, dan persekutuan perdata. Akan tetapi, hukum pajak pengasilan menjelaskan badan dalam arti sangat luas. Penjelasan pasal a quo mengatakan bahwa badan merupakan perkumpulan orang atau modal yang melakukan kegiatan usaha maupun tidak melakukan kegiatan usaha, badan juga dimengerti sebagai milik pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan badan diketahui dari segi bentuknya seperti perkumpulan, persatuan atau ikatan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.

  1. Badan Usaha Tetap (BUT)

Badan Usaha Tetap (BUT) dilegitimasi oleh Pasal 2 ayat (5) UU PPh. Pasal a quo tidak memberikan definisi tetapi memberikan syarat BUT yakni: orang pribadi yang didasarkan pada tempat tinggal tidak di Indonesia, orang pribadi di Indonesia didasarkan pada hari lamanya ada di Indonesia, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk melakukan bisnis dan kegiatan.

BUT diandaikan sebagai tempat usaha (place of business) yang diselenggarakan dalam suatu kedaulatan negara. Oleh sebab itu, BUT selalu merujuk kepada tempat. “Tempat usaha” dapat berupa fasilitas bisnis berupa tanah, bangunan, mesin-mesin dan seterusnya.

Adakalanya, orang pribadi dan badan diwakili oleh agen atau semacamnya yang berkedudukan bebas dan agen tersebut tidak bisa disebut BUT. Ambil contoh, perusahaan makanan cepat saji asal luar negeri sebagai cabang, tetapi perusahaan itu tidak didirikan di Indonesia maka ia sebagai subjek pajak penghasilan karena place of business-nya di Indonesia. Terjadi perkembangan, BUT tidak akan lagi terfokus pada place of business tetapi kearah place of economic activity guna menjangkau BUT pada bidang internet economic.

  1. Subjek Pajak Dalam Negeri

Menurut Pasal 2 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c UU PPh bahwa orang pribadi, badan, dan warisan adalah subjek pajak dalam negeri. Perihal orang pribadi dikatakan pada uraian sebelumnya, didasarkan pada tempat tinggal yang perhitungannya lebih dari 183 hari (tidak mesti berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya ke Indonesia.

  1. Subjek Pajak Luar Negeri

Subjek pajak luar negeri adalah mereka yang disebut pada Pasal 2 ayat (4) huruf a dan b yakni orang pribadi dan badan yang berada di luar Indonesia tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia melalui atau tidak melalui Badan Usaha Tetap (BUT). Dijelaskan apabila mereka menerima penghasilan dari BUT maka dikenai pajak dan status mereka sebagai subjek pajak luar negeri tidak berubah. Tegasnya, BUT tersebut menggantikan mereka sebagai subjek pajak penghasilan meskipun mereka berada di luar negeri.

Selanjutnya, secara berturut-turut Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c UU PPh merumuskan subjek pajak penghasilan secara negatif yaitu:

    1. Kantor perwakilan asing.
    2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik atau konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing.
    3. Organisasi-organisasi Internasional.

Akan tetapi pasal a quo bukan tanpa pengecualian. Dikatakan dalam penjelasan otentik bahwa pejabat-pejabat negara asing yang tidak ada kaitannya dengan jabatan atau pekerjaannya tersebut dan menerima penghasilan lain dari Indonesia maka ia sebagai subjek pajak penghasilan.

DASAR HUKUM

  1. Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Pengasilan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006.

For more information, you can contact at info@abplawfirm.co.id or chat via Whatsapp +62 819 1459 4540.

This publication is intended for informational purposes only and does not constitute legal advice. Any reliance on the material contained herein is at the user’s own risk. We encourage you to consult with the appropriate professionals if you require legal advice. All ABP Law Firm publications are copyrighted and may not be reproduced without the express written consent of ABP Law Firm.

Share:

More Posts

Send Us A Message

Contact Us

Contact Details

Jakarta – Conclave Simatupang Kawasan Komersial Cilandak Jalan Raya Cilandak KKO No. 410, RT. 001 RW. 005, Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12560 – Indonesia​​

Share this: