Terkadang di dalam suatu perjanjian terjadi permasalahan yang menyebabkan salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban atau prestasi sesuai dengan kesepakatan atau lebih dikenal dengan istilah wanprestasi. Wanprestasi itu sendiri dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja, sengaja dalam arti memiliki itikad/berniat, sedangkan tidak disengaja dapat berupa kelalaian dalam menjalankan prestasi adalah dimana seseorang/lembaga/badan yang wajib berprestasi seharusnya tahu atau patut menduga bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya dapat menimbulkan kerugian.
Akibat Wanprestasi
Tentunya, ada konsekuensi karena wanprestasi bagi kedua belah pihak, Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata, berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
singkatnya pasal tersebut mengatur tentang kewajiban penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan. Selain itu, tentang suatu perjanjian lain, seperti:
- Perjanjian hibah (pasal 1237 KUH Perdata)
- Perjanjian jual beli (pasal 1460 KUH Perdata)
- Perjanjian tukar menukar (pasal 1545 KUH Perdata)
- Perjanjian sewa menyewa (pasal 1553 KUH Perdata)
Tidak semua wanprestasi dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian dan bunga secara begitu saja. Dalam perjanjian-perjanjian lain pun seperti di atas dikenal dengan istilah “risiko keadaan memaksa atau keadaan kahar”.
Unsur-Unsur Keadaan Memaksa
Keadan memaksa atau keadaan kahar atau force majeure (Perancis) atau overmacth (Belanda) adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan (Abdulkadir, 2010:243). Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa, selain keadaan itu di luar kekuasaan si berhutang dan memaksa, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat (Subekti, 2003:150).
Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa keadaan memaksa memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Abdulkadir, 2010:243) :
- Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan; atau
- Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitor untuk berprestasi;
- Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Sifat Keadaan Memaksa
Kemudian, keadaan memaksa atau kahar sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu objektif dan subjektif (Abdulkadir, 2010); keadaan memaksa objektif terjadi apabila tidak terpenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan dan peristiwa tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Kemudian, keadaan memaksa subjektif terjadi apabila tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitor untuk berprestasi dan peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi apda waktu membuat perikatan.
Maka, untuk keadaan memaksa objektif dapat dikatakan bersifat absolut, yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya. Dan untuk keadaan memaksa subjektif dapat dikatakan bersifat relaitf, yaitu dalam halnya suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang.
Itulah sedikit pemparan sederhana tentang keadaan memaksa atau kahar dalam perjanjian, guna memahami gambaran umum dari salah satu risiko yang dapat terjadi.
For more information, you can contact at info@abplawfirm.co.id or chat via Whatsapp +62 819 1459 4540.
This publication is intended for informational purposes only and does not constitute legal advice. Any reliance on the material contained herein is at the user’s own risk. We encourage you to consult with the appropriate professionals if you require legal advice. All ABP Law Firm publications are copyrighted and may not be reproduced without the express written consent of ABP Law Firm.